WOT ATAWA JEMBATAN: CATATAN PENONTON
Oleh: Hamoezi
16 tubuh berjalan mengendap-endap keluar dari gelap pintu, seperti
sosok malaikat penjemput maut yang bingung. Tak ada derap. Entah siapa
di antara mereka yang menyepakati lebih dulu, bahwa suasana mencekik
kerap kali dekat dengan yang senyap.
Dari pangkal kepala sampai
ke bawah betis mereka tertutupi karung putih. Tubuh-tubuh itu seperti
mimikri di bawah lampu yang sebentar redup, kemudian menyala seketika.
Sedangkan, di belakang layar hitam terdengar suara yang guncang. Mereka
yang sudah berdiri di sana, bergerak dengan liarnya. Terombang-ambing
hingga tampak patah. Fragmen ini menyisipkan pesan, bahwa tanpa harus
ada tutur percakapan: tubuh adalah sebingkai kerapuh.
Di saat seperti itulah, sebuah drama kan hadir. Tak lama lagi.
Maka, selanjutnya laki-laki dengan bahu yang bungkuk. Jalannya gontai.
Ia mengenakan kemeja putih, yang terlipat tak rapi pada bagian
lengannya. Ia mencari cahaya. Yang ditatapnya kosong. Ada yang hilang di
kedua kantung matanya, entah apa. Ia tak bicara –tak ingin.
Demikian sedikit deskripsi prolog muram dari drama WOT atawa Jembatan ,
karya Yudhistira A Nugraha yang baru saja dipentaskan oleh rekan
kelompok teater Castra Mardika, Unit Kesenian Mahasiswa UNJ, pada Sabtu,
14 Juli 2012 berlokasi di Pendopo Fakutas Ilmu Pendidikan, Kampus A UNJ
–merupakan produksi ke-9 dari Teater Castra Mardika. Dan kali ini,
melalui eksperimentasi sutradara Irfan Hakim, sebuah seni pertunjukan
yang berangkat dari abstraksi dituntun ke hadapan khalayak penonton.
Drama WOT atawa Jembatan tidaklah sebuah drama yang dialogis,
sederhananya. Ia mengetuk pintu imaji kita bersama suara-suara yang
berseberangan, dengan aksen yang tak kompak –tak sama. Di jembatan,
sebagaimana latar lakon ini diambil, orang-orang bisa saja sekedar lewat
untuk peduli, yang justru tidak peduli. Sebab, sesuatu di sana terus
menerus diperdebatkan secara lisan.
Sesuatu di sana, merujuk
pada yang lain –di luar mereka yang di jembatan. Katakan saja, yang
berbeda dari mereka yang berada di atas jembatan adalah masyarakat.
Maka, Sesuatu di sana berada di luar masyarakat. Namun, rupanya yang
tertuang pada naskah ini adalah kerusuhan yang mereka sendiri tidak tahu
penyebabnya, sampai-sampai mereka bisa berkumpul di jembatan. Saya
mewajari lakon ini, dengan membaca sinopsis. Di sana tertulis;
“WOT atawa Jembatan adalah sebuah naskah absurd…”
Di satu scene yang emosional, para tokoh drama saling berdebat, tentang
siapa dari mereka yang datang pertama ke jembatan. Tapi, tak ada yang
tahu. Mereka sebatas menyalahi diri orang lain, lalu menunduk memaklumi
ketidak-tahuannya sendiri. Seorang tokoh Polisi, menuduh mereka
ditunggangi. Dalam kaitannya ke politik, penulis naskah ini memberi
indikasi pencerminan, kalau aparatur negara-lah yang berhak mempunyai
kuasa dalam mengatur hidup masyarakat banyak. Tanpa, mempertimbangkan
kesalahan apa yang mereka perbuat. Sang Polisi menuduh mereka semua,
yang berkumpul di jembatan, sebagai upaya subversif. Makar. Sampai
ketika mereka menggugat: bahwa yang di seberang sanalah yang salah.
Lagi-lagi kita, penonton, di kembalikan pada tafsir bebas: siapakah
sesuatu di sana itu?
Di sinilah, penonton senantiasa boleh
menyebut, drama ini gelap: bicara tentang hidup yang penuh kesangsian,
dimana taraf sosial masyarakat saling berketimpangan. Sedih. “Tapi,
menggelikan….” celetuk tokoh Orang Gila di satu bagian adegan. Sehingga
di jembatan, rasanya tidak ada aparatur negara. Sebab, kepentingan
dikembalikan pada tiap pribadi. Namun, keterdesakan hidup kadang
mengingatan kita pada konteks kebutuhan suatu zaman, pun lengkap dengan
penyesuaiannya. Di fase inilah, kita sebagai penonton digiring kepada
perayaan perkenalan, melalui laku tokoh yang bernaluri dasariah. Yakni;
tubuh.
Meski dengan ditemukannya pelbagai abstraksi percakapan,
seperti diajukannya sekian pertanyaan pelik: tentang tujuan, fungsi,
makna hidup sendiri. Pada akhirnya, berujung pada ketidaktahuan
masing-masing tokoh. Saya percaya, juga penonton lainnya, WOT atawa
Jembatan bukanlah kunci jawaban yang baik untuk pertanyaan yang
berbenturan dengan ricuhnya pertengkaran di panggung. Tapi, sesuatu di
sana telah membuat kita terusik ketika kita, sebagai warga negara biasa
berpergian keluar rumah. Lalu, dikejutkan dengan realitas terbalik di
dunia luar sana… dunia tempat sesuatu di sana berada –mengambil posisi.
Absurditas yang disuguhkan dari WOT atawa Jembatan berkisar pada hal
yang satir. Bangunan kritiknya bermaksud membisikkan: hidup kita itu
bernaung di bawah jerat ironi. Layaknya setiap tokoh, yang ambil peran
di peakan panggung: mereka seolah hidup dalam mati, dan mati dalam
hidup. Dan seterusnya.
WOT atawa Jembatan adalah representasi
kejenuhan kita pada sesuatu di sana. Seperti halnya kita membolak-balik
surat abar di pagi hari, sambil mengaduk kopi: yang ditemukan tak lain
rentetan kasus korupsi pejabat teras, kriminalitas di jalan Ibukota,
biaya pendidikan yang mahal, dan lain lain. Yang sebetulnya, semua itu
kita suka namankan sebagai: kekecewaan. Bukan?
Rawamangun,
15 Juli 2012
Catatan: Ini merupakan ucapan terimakasih yang merayakan kreativitas.
Selamat atas pementasan Produksi ke-9 Castra Mardika. Bravo Unit
Kesenian Mahasiswa.
https://www.facebook.com/groups/111380795653009/permalink/160051524119269/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar