Halaman

Jumat, 18 Januari 2013

WOT ATAWA JEMBATAN: CATATAN PENONTON

Oleh: Hamoezi


16 tubuh berjalan mengendap-endap keluar dari gelap pintu, seperti sosok malaikat penjemput maut yang bingung. Tak ada derap. Entah siapa di antara mereka yang menyepakati lebih dulu, bahwa suasana mencekik kerap kali dekat dengan yang senyap.

Dari pangkal kepala sampai ke bawah betis mereka tertutupi karung putih. Tubuh-tubuh itu seperti mimikri di bawah lampu yang sebentar redup, kemudian menyala seketika. Sedangkan, di belakang layar hitam terdengar suara yang guncang. Mereka yang sudah berdiri di sana, bergerak dengan liarnya. Terombang-ambing hingga tampak patah. Fragmen ini menyisipkan pesan, bahwa tanpa harus ada tutur percakapan: tubuh adalah sebingkai kerapuh.

Di saat seperti itulah, sebuah drama kan hadir. Tak lama lagi.

Maka, selanjutnya laki-laki dengan bahu yang bungkuk. Jalannya gontai. Ia mengenakan kemeja putih, yang terlipat tak rapi pada bagian lengannya. Ia mencari cahaya. Yang ditatapnya kosong. Ada yang hilang di kedua kantung matanya, entah apa. Ia tak bicara –tak ingin.

Demikian sedikit deskripsi prolog muram dari drama WOT atawa Jembatan , karya Yudhistira A Nugraha yang baru saja dipentaskan oleh rekan kelompok teater Castra Mardika, Unit Kesenian Mahasiswa UNJ, pada Sabtu, 14 Juli 2012 berlokasi di Pendopo Fakutas Ilmu Pendidikan, Kampus A UNJ –merupakan produksi ke-9 dari Teater Castra Mardika. Dan kali ini, melalui eksperimentasi sutradara Irfan Hakim, sebuah seni pertunjukan yang berangkat dari abstraksi dituntun ke hadapan khalayak penonton.

Drama WOT atawa Jembatan tidaklah sebuah drama yang dialogis, sederhananya. Ia mengetuk pintu imaji kita bersama suara-suara yang berseberangan, dengan aksen yang tak kompak –tak sama. Di jembatan, sebagaimana latar lakon ini diambil, orang-orang bisa saja sekedar lewat untuk peduli, yang justru tidak peduli. Sebab, sesuatu di sana terus menerus diperdebatkan secara lisan.

Sesuatu di sana, merujuk pada yang lain –di luar mereka yang di jembatan. Katakan saja, yang berbeda dari mereka yang berada di atas jembatan adalah masyarakat. Maka, Sesuatu di sana berada di luar masyarakat. Namun, rupanya yang tertuang pada naskah ini adalah kerusuhan yang mereka sendiri tidak tahu penyebabnya, sampai-sampai mereka bisa berkumpul di jembatan. Saya mewajari lakon ini, dengan membaca sinopsis. Di sana tertulis;

“WOT atawa Jembatan adalah sebuah naskah absurd…”

Di satu scene yang emosional, para tokoh drama saling berdebat, tentang siapa dari mereka yang datang pertama ke jembatan. Tapi, tak ada yang tahu. Mereka sebatas menyalahi diri orang lain, lalu menunduk memaklumi ketidak-tahuannya sendiri. Seorang tokoh Polisi, menuduh mereka ditunggangi. Dalam kaitannya ke politik, penulis naskah ini memberi indikasi pencerminan, kalau aparatur negara-lah yang berhak mempunyai kuasa dalam mengatur hidup masyarakat banyak. Tanpa, mempertimbangkan kesalahan apa yang mereka perbuat. Sang Polisi menuduh mereka semua, yang berkumpul di jembatan, sebagai upaya subversif. Makar. Sampai ketika mereka menggugat: bahwa yang di seberang sanalah yang salah. Lagi-lagi kita, penonton, di kembalikan pada tafsir bebas: siapakah sesuatu di sana itu?

Di sinilah, penonton senantiasa boleh menyebut, drama ini gelap: bicara tentang hidup yang penuh kesangsian, dimana taraf sosial masyarakat saling berketimpangan. Sedih. “Tapi, menggelikan….” celetuk tokoh Orang Gila di satu bagian adegan. Sehingga di jembatan, rasanya tidak ada aparatur negara. Sebab, kepentingan dikembalikan pada tiap pribadi. Namun, keterdesakan hidup kadang mengingatan kita pada konteks kebutuhan suatu zaman, pun lengkap dengan penyesuaiannya. Di fase inilah, kita sebagai penonton digiring kepada perayaan perkenalan, melalui laku tokoh yang bernaluri dasariah. Yakni; tubuh.

Meski dengan ditemukannya pelbagai abstraksi percakapan, seperti diajukannya sekian pertanyaan pelik: tentang tujuan, fungsi, makna hidup sendiri. Pada akhirnya, berujung pada ketidaktahuan masing-masing tokoh. Saya percaya, juga penonton lainnya, WOT atawa Jembatan bukanlah kunci jawaban yang baik untuk pertanyaan yang berbenturan dengan ricuhnya pertengkaran di panggung. Tapi, sesuatu di sana telah membuat kita terusik ketika kita, sebagai warga negara biasa berpergian keluar rumah. Lalu, dikejutkan dengan realitas terbalik di dunia luar sana… dunia tempat sesuatu di sana berada –mengambil posisi.

Absurditas yang disuguhkan dari WOT atawa Jembatan berkisar pada hal yang satir. Bangunan kritiknya bermaksud membisikkan: hidup kita itu bernaung di bawah jerat ironi. Layaknya setiap tokoh, yang ambil peran di peakan panggung: mereka seolah hidup dalam mati, dan mati dalam hidup. Dan seterusnya.

WOT atawa Jembatan adalah representasi kejenuhan kita pada sesuatu di sana. Seperti halnya kita membolak-balik surat abar di pagi hari, sambil mengaduk kopi: yang ditemukan tak lain rentetan kasus korupsi pejabat teras, kriminalitas di jalan Ibukota, biaya pendidikan yang mahal, dan lain lain. Yang sebetulnya, semua itu kita suka namankan sebagai: kekecewaan. Bukan?

Rawamangun,
15 Juli 2012

Catatan: Ini merupakan ucapan terimakasih yang merayakan kreativitas. Selamat atas pementasan Produksi ke-9 Castra Mardika. Bravo Unit Kesenian Mahasiswa.
https://www.facebook.com/groups/111380795653009/permalink/160051524119269/
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar